-->
Menurut Meyer, interkasi antara media dengan
institusi masyarakatVmenghasilkan
produk isi media (media content). Oleh audien, isi media dikonversi menjadi gugusan-gugusan makna. Makna
seperti apakah yang dihasilkan dari proses
penyandian pesan itu, menurut meyer, sangat ditentukan oleh norma norma yang
berlaku dalam komunitasnya, pengalamannya yang lalu, kepribadian, dan selektifitas dalam penaksiran.
Selanjutnya, guru besar dibidang Psikologi
sosial-Komunikasi ini menjelaskan
kelemahan media komunikasi yang lain. Yakni, meskipun media komunikasi massa tetap hadir (prevalent),
melainkan peranannya tidak pernah runtut,
selalu terputus-putus (intermittent) dan tidak pernah (dan tidak perlu) tuntas (exhaustive). Memang fungsi
pokok media massa, lanjut Hamijoyo, hanyalah
memberi penyadaran (awareness) dan pengetahuan awal. Itulah sebabnya, media massa perlu ditopang
dengan dukungan sosial lain, missal kelompencapir,
aktifitas-aktifas penerangan dan penyuluhan pembangunan, termasuk juga jupen pemerintah dan
swasta, para guru sekolah dasar, penyuluh pertanian
lapangan, dan para pekerja sosial. Memang
belum banyak penelitian yang mencoba menjelaskan men apa pengaruh
media komunikasi massa menjadi berkurang.
Publik justru
akan mencari informasi penguat dari sumber-sumber dalam komunikasi sosial. Dalam situasi krisis kepercayaan
itu, maka media cenderung digunakan sebagai
instrument katarsis yang bersifat entertainment dan kepuasan hedonistik.
Namun,
penelitian-penelitian sebelumnya ada yang menunjukkan bahwa runtuhnya kredibilitas komunikator bukan
semata-mata disebabkan factor ketidakpercayaan komunikan terhadap isi media. Sebaliknya
menemukan bukti bahwa ketidak-percayaan
itu tumbuh karena faktor proses komunikasi. George Miller (1956) menemukan bukti bahwa kegagalan
komunikasi lebih banyak disebabkan oleh
frekuensi komunikasi yang berlebihan sehingga mengakibatkan kelebihan informasi pada audiences (over load
information). Menurut Miller, kelebihan informasi
ini mengakibatkan reaksi-reaksi negatif terhadap komunikasi: Informasi tidak tertangkap Membuat kesalahan Menunda atau menumpuk pekerjaan Cenderung menyaring informasi
(filtering) Hanya menangkap
garis besarnya saja Melempar
tugas pada orang lain
Menghindari
Informasi
Keadaan
kejenuhan pada audiens ini tidak terakomodasi dalam “media content”,
sehingga semakin memperlebar kesenjangan antara media dengan penggunaannya. Masing-masing berjalan
dengan “meme”-nya sendiri-sendiri.
Untuk
kasus Indonesia, media semakin tak acuh terhadap keberadaan pengguna karena baru menikmati masa
kebebasan ekspresi akibat gerakkan reformasi 1999. itu sebabnya hegemoni media
terhadap masyarakat sering tidak terjembatani.
Masyarakat
yang dirugikan isi media sering kali tidak memperoleh pembelaan dari siapaun, termasuk dari
institusi media. Di negara maju yang demokratis, masyarakat masih dibela haknya oleh
penguatan hukum (law- enforcement). Dengan demikian, tumbuhnya kebebasan berekspresi
semakin tidak terkontrol
sampai akhirnya mengundang reaksi anarkis dari masyarakat.
Kenyataannya,
meskipun media massa setelah reformasi digulirkan tumbuh
subur bagai jamur dimusim penghujan, tatapi ada kecenderuangan memuat informasi yang sama. Sehingga
tidak terjadi signifikasi antara pertumbuhan
media dengan keaneka ragaman informasi. Media massa bertambah banyak, tetapi pengetahuan masyarakat
tetap berjalan ditempat. Orang pun menjadi
enggan membaca koran lebih dari satu, sebab membaca tiga atau sepuluh koran, isinya sama saja. Keadaan inilah
yang dikhawatirkan memperburuk kribilitas
media.
No comments:
Post a Comment
Pengujung yang baik, pasti tidak lupa berkomentar. :)
Terimakasih.....