Beberapa tahun terakhir
semenjak Maria Eka Pangestu menjabat sebagai nomor satu di kementrian
pariwisata dan ekonomi kreatif, Indonesia semakin populer sebagai destinasi
wisata di Asia. Berbagai cara dilakukan
oleh kemenparekraf demi menstimulasi kemajuan pariwisata Indonesia, salah
satunya melalui MICE Industry yang merupakan lahan potensial pariwisata saat
ini. Berbagai event bertaraf nasional dan internasional serta stragegi media
direct dan media indirect mengantarkan
“Wonderful Indonesia” semakin menempati benak dunia. Namun tidak hanya itu
saja. Peran pelaku sosial media, komunitas, dan lembaga independen yang
berjibaku membranding Indonesia sebagai kawasan wisata secara tidak langsung juga turut menunjang
promosi dan publikasi negara tercinta.
Positioning dan stigma pariwisata
“Indonesia” adalah “Bali” kini mulai tergeser sejalan dengan gencarnya promosi
daerah tujuan wisata lainnya. Pelaku
sosial media seperti travel blogger berusaha mengangkat citra daerahnya
masing-masing tanpa mengharapkan imbalan. Hal hal yang potensial seperti
keunikan budaya dan objek wisata diulas secara detil.
Sedihnya popularitas
itu seolah tidak sejalan dengan fasilitas, sarana dan prasarana yang ditemukan dibeberapa
lokasi wisata daerah yang masih sangat minim. ditambah lagi retribusi
untuk oknum tak bertanggungjawab, “preman
setempat” yang kerap meminta uang keamanan.Kedua hal tersebut semakin memuncak
dengan karakter pelaku pariwisata.
Otonomi daerah
sepertinya menjadi buah simalakama, ketika segala sesuatu diatur dan dikelola
oleh pemerintah daerah. Istilah ‘yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin’
terlihat semakin merajai. Ketidakmampuan dan ketidaksiapan pemerintah daerah tentu
berdampak pada kemajuan dan laju perkembangan pariwisata yang terlihat
“disitu-situ aja”. Hingga istilah tempat
wisata tidak berubah menjadi destinasi wisata bahkan secara perlahan mulai terlupakan
dan berakhir pada peak positioning, surga tak terjamah.
Beberapa waktu yang
lalu, saya bertemu dengan seorang travel consultant dari Jakarta. Ia tengah
menyambangi kota terbesar ketiga di Indonesia dimana saya tinggal yakni Medan.
Setelah mengunjungi beberapa trade mark ibukota provinsi Sumatera Utara kami
singgah disebuah café melepas penat dan berbagi cerita. Sebelumnya saya ingin
menjelaskan bahwa ia merupakan salah satu orang yang resign dari jabatan
sebagai PNS karena memilih untuk berwirausaha. Disela-sela perbincangan ia
mengeluh akan susahnya mencapai beberapa destinasi wisata di Sumut, lain lagi
dengan sikap pelaku pariwisata itu sendiri yang terkesan acuh tak peduli.
“This is hospitality” Ujarnya
seraya menggoreskan huruf “X” diatas lembaran kertas bertuliskan objek wisata
yang telah dikunjungi.
Dan pasti anda tahu apa
yang kelak terjadi bila tulisannya telah terpublish.
Lantas siapa yang harus
disalahkan?
Jawaban untuk
pertanyaan saya diatas adalah: tak ada yang salah dan tak ada yang benar.
Pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat seyogianya bersinergi untuk
memajukan pariwisata sehingga menghasilkan strength output, inilah kekuatan
yang sesungguhnya. Tourism Malaysia adalah salah satu contoh nyata begitu besar
pengaruh dari sinergitas, Tourism Malaysia merupakan lembaga yang didukung oleh
pemerintah, para pelaku industri pariwisata dan masyarakat untuk mempromosikan
negara jiran tersebut. “the truly asia” berhasil membentuk persepsi dunia bahwa
segala sesuatu hal yang bersangkut paut dengan negara negara di Asia dapat
disaksikan di Malaysia, best positioning, right?
Lantas bagaimana dengan
kita?
Keindahan Indonesia
yang begitu eksotis dengan pesona sejuta manikam panorama alam dan keunikan
budaya yang tentunya “milik” kita membutuhkan kerjasama untuk saling bahu
membahu membangun sektor pariwisata agar sejajar bahkan melebihi negara lain.
Pola saling menyalahkan sudah tidak zaman lagi dan sungguh pantas untuk
ditinggalkan.
No comments:
Post a Comment
Pengujung yang baik, pasti tidak lupa berkomentar. :)
Terimakasih.....