informasi pariwisata dan budaya di Sumatera Utara

7 Mazhab Psikologi Komunikasi

 
1. Psikoanalisis
Salah satunya tokoh psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939). Psikoanalisis bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego lemah.
Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:
a.    Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b.    Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
c.    Ego, adalah pengawas realitas.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).
2. Behaviourisme
Aliran ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja. Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan, sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing menjadi conditioned response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih maka dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si anak kaget. Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada taraf tertentu maka si anak akan menangis begitu hanya melihat tikus putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi takut dengan segala sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng Sinterklas.
Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).
3. Psikologi Humanistis
Aliran ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis. Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau makhluk yang rendah. Aliran ini biasa disebut mazhab ketiga setelah Psikoanalisa dan Behaviorisme.
Salah satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit, bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah satu bagian dari humanistic adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a. Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b. Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c. Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a. Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery). Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan. Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Yogyakarta menuju Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan. Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d. Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
e. Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi makna pada kehidupan kita.
4. Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berarti menggambarkan konfigurasi atau bentuk yang utuh. Suatu gestalt dapat berupa objek yang berbeda dari jumlah bagian-bagiannya. Semua penjelasan tentang bagian-bagian objek akan mengakibatkan hilangnya gestalt itu sendiri. Sebagai contoh, ketika melihat sebuah persegi panjang maka hal ini dapat dipahami dan dijelaskan sebagai persegi panjang berdasarkan keutuhannya atau keseluruhannya dan identitas ini tidak bisa dijelaskan sebagai empat garis yang saling tegak lurus dan berhubungan.
Sejalan dengan itu, gestalt menunjukkan premis dasar sistem psikologi yang mengonseptualisasi berbagai peristiwa psikologis sebagai fenomena yang terorganisasi, utuh dan logis. Pandangan ini menjelaskan integritas psikologis aktivitas manusia yang jelas. Menurut para gestaltis, pada waktu itu psikologi menjadi kehilangan identitas jika dianalisis menjadi komponen-komponen atau bagian-bagian yang telah ada sebelumnya.
Psikologi gestalt adalah gerakan jerman yang secara langsung menantang psikologi strukturalisme Wundt. Para gestaltis mewarisi tradisi psikologi aksi dari Brentano, Stumpf dan akademi Wurzburg di jerman, yang berupaya mengembangkan alternatif bagi model psikologi yang diajukan oleh model ilmu pengetahuan alam reduksionistik dan analitik dari Wundt.
Gerakan gestalt lebih konsisten dengan tema utama dalam filsafat jerman yakni aktivitas mental dari pada sistem Wundt. Psikologi gestalt didasari oleh pemikiran Kant tentang teori nativistik yang mengatakan bahwa organisasi aktivitas mental membuat individu berinteraksi dengan lingkungannya melalui cara-cara yang khas. Sehingga tujuan psikologi gestalt adalah menyelidiki organisasi aktivitas mental dan mengetahui secara tepat karakteristik interaksi manusia-lingkungan.
Hingga pada tahun 1930, gerakan gestalt telah berhasil menggantikan model wunditian dalam psikologi Jerman. Namun, keberhasilan gerakan tersebut tidak berlangsung lama kerena munculnya hitlerisme. Sehingga para pemimpin gerakan tersebut hijrah ke Amerika.
Psikologi gestalt diawali dan dikembangakan melalui tulisan-tulisan tiga tokoh penting, yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Ketiganya dididik dalam atmosfer intelektual yang menggairahkan pada awal abad 20 di Jerman, dan ketiganya melarikan diri dari kejaran nazi dan bermigrasi ke Amerika.
Tetapi di Amerika psikologi gestalt tidak memperoleh dominasi seperti di Jerman. Hal ini dikarenakan psikologi Amerika telah berkembang melalui periode fungsionalisme dan pada tahun 1930-an didominasi oleh behaviorisme. Oleh karena itu, kerangka psikologi gestalt tidak sejalan dengan perkembangan-perkembangan di Amerika.
5. Psikologi Transpersonal
Kata transpersonal berasal dari kata trans yang berarti melampaui dan persona berarti topeng. Secara etimologis, transpersonal berarti melampaui gambaran manusia yang kelihatan. Dengan kata lain, transpersonal berarti melampaui macam-macam topeng yang digunakan manusia.
Menurut John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi transpersonal merupakan salah satu bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep, teori dan metode psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari bermacam-macam budaya dan agama. Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segala-galanya dipandang sebagai satu kesatuan.
Perintisan psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang psikologi kesehatan pada tahun 1960-an yang dilakukan oleh Abraham Maslow (Kaszaniak,2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada tahun 1969 dimasa disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, keadaran ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi dan pengalaman transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah psikoanalisis, behaviourisme dan humanistic. Psikologi transpersonal memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf kesadaran ASCs (Altered States of Consciosness). Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertamakalinya, psikology mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual (Zohar,2000).
Aliran psikologi Transpersonal ini dikembangkan oleh tokoh psikologi humanistic antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan dari aliran humanistic. Sebuah definisi kekemukakan oleh Shapiro yang merupakan gabungan dari pendapat tentang psikologi transpersonal : psikologi transpersonal mengkaji tentang poitensi tertinggi yang dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan farthes reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000). "I should say also that I consider Humanistic, Third Force psychology, to be trantitional, a preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal, transhuman centered in the cosmos rather than in human needs and interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the like".
Psikologi transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau transcendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia antara psikologi humanistic dengan psikologi transpersonal. McWaters (dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya menusia dan tingkat kesadaran diri manusia.
Tiap tingkat dari bagian diatas menunjukan tingkat fungsi dan tingkat kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 yang berturut-turut mewakili aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin individu. Lingkaran 4 menggambarkan pengintegrasian dari lingkaran 1, 2 dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harminis pada tingkat pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini mulai samara-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indra (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransedir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, dimana diri seseorang mentransendir dualintas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan dipresepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagaian pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi. Jika seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan, dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan yang indrawi menuju rasa kekaguman ( tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan, disini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur aktiitas kognitif seseorang muali delibtkan, disinilah tafakur sangat berperan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik, dmosi dan intelektual.
Kemudian jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap transpersonal ini "perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhada-Nya, dan dapat menyembah-Nya. Baik karena takut atau karena cinta". Dari ungkapan tersebut dapat dita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia transpersonal.
6. Psikologi Positif
Psikologi yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif, karena berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling banter hanya menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal, manusia tidak hanya ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan kebahagiaan. Adakah psikologi jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan psikologi negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan.
Dalam buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan metode-metode praktis yang dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan temuan-temuan terbaru dari sains kebahagiaan untuk mengukur dan mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun 2000 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi "Kami percaya bahwa psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk membangun berkembang dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif mencari" untuk mencari dan membina jenius dan bakat ", dan" untuk membuat kehidupan normal lebih memuaskan ", tidak hanya untuk mengobati penyakit mental. Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan pada tahun 2006 studi di Universitas Harvard yang berjudul "Psikologi Positif" menjadi kursus semester yang paling populer semester.
Beberapa Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick Fromm mengembangnak teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan manusia. Baru-baru ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog humanistik ini telah menemukan dukungan empiris dari studi oleh para psikolog positif, meskipun penelitian ini telah banyak dikritik. Teori ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber filosofismenya keagamaan dan psikologi humanistic.
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang psikologi selalu menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa seseorang, misalnya penyebab orang mengalami gangguan jiwa, mengapa orang bisa mengalami stress, dan lain-lain. Yang selalu berhubungan dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi selami ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang salah pada manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain lain.
Itulah sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.” Misi Seligman ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi patogenis yang hanya berkutat pada kekurangan manusia ke psikologi positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia psikologi. Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang bermasalah. Sejak awal mula munculnya aliran psikologi (mashab behaviorisme), manusia dipandang sebagai suatu mekanik yang penuh dengan banyak masalah. Mashab ini kemudian melihat masalah yang ada pada manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis yang melihat kenangan masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang ada saat ini. Apapun itu, psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya lebih memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai psikologi negatif.
Psikologi positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia, kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya, psikologi lebih banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan jiwa juga emosi negatif, seperti marah, benci, jijik, cemburu dan sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus, disebutkan bahwa emosi positif biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa demikian. Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman yang subyektif dibanding melakukan emosi positif. Contohnya, pada saat kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior, dan sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi yang dipelajari, sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang dirasa nyaman.
Psikologi positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman manusia.
Jadi intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif, ada baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin kita lebih mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif kita. Maka hasilnya pun akan positif.
7. Psikologi Lintas Budaya (Cross Culture Psychology)
Kata budaya sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Kata budaya juga kadang dikaitkan dengan seni, musik, tradisi-ritual, atau peninggalan-peninggalan masa lalu. Sebagai sebuah entitas teoritis dan konseptual, budaya membantu memahami bagaimana kita berperilaku tertentu dan menjelaskan perbedaan sekelompok orang. Sebagai sebuah konsep abstrak, lebih dari sekedar label, budaya memiliki kehidupan sendiri, ia terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuan-pertemuan dengan budaya lain, perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Budaya adalah produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam sebuah kelompok. Budaya menjadi pengikat dan diinternalisasi individu-individu yang menjadi anggota suatu kelompok, baik disadari maupun tidak disadari. Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi lainnya.
Sebenarnya bagaimana hubungan antara psikologi dan budaya? Secara sederhana Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara budaya dan perilaku sosial, Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian – perilaku. Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999) mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi lingkungan sosial-politik dan adaptasi biologis dan adaptasi kultural merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis. Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika, transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Pada umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau lintas etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan sebagai satu kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna. Meskipun hal tersebut juga menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara bisa diperlakukan sebagai satu kelompok budaya bila didalamnya ada ratusan etnik seperti halnya indonesia? Dalam posisi seperti itu, penggunaan bahasa nasional yakni bahasa indonesia menjadi dasar untuk menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam satu kelompok budaya. Pada akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk melakukan pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai dengan ras, etnis, bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang tindih satu sama lain atau malah kurang relevan.
Sebuah definisi mengenai budaya dalam konteks psikologi lintas budaya diperlukan guna pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud budaya dalam psikologi lintas budaya. Culture as the set of attitudes, values, belifs, and behaviors shared by a group of people, but different for each individual, communicated from one generation to the next (Matsumoto, 1996). Definisi Matsumoto dapat diterima karena definisi ini memenuhi semua perdebatan sebelumnya; budaya sebagai gagasan, baik yang muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan keyakinan, sekaligus sebagai material, budaya sebagai produk (masif) maupun sesuatu (things) yang hidup (aktif dan menjadi panduan bagi individu anggota kelompok. Selain itu, definisi tersebut menggambarkan bahwa budaya adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu.
Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Dalam arti sempit, penelitian lintas budaya secara sederhana hanya berarti dilibatkannya partisipasian dari latar belakang kultural yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan antara para partisipan tersebut.
Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific, berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu) (Matsumoto, 2004).
Menurut Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks budaya, tempat perilaku terjadi. Terdapat beberapa definisi lain (menekankan beberapa kompleksitas), antara lain:
a. Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya mencakup kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya atau lebih, dengan menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal.
b. Menurut Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat membawa ke arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.
c. Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Setiap definisi dari masing-masing ahli di atas, menitikberatkan ciri tertentu, seperti misalnya pertama, gagasan kunci yang ditonjolkan ialah cara mengenali hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. Kedua, berpusat pada peluang rampat (generalizabiliti) dari pengetahuan psikologi yang dianut. Ketiga lebih menitikberatkan pengenalan berbagai jenis pengalaman budaya. Kempat, mengedepankan persoalan perubahan budaya dan hubungannya dengan perilaku individual. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa psikologi lintas budaya adalah psikologi yang memperhatikan faktor-faktor budaya, dalam teori, metode dan aplikasinya.
Sumber:
Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Mizan, Jakarta, 2000.

Noesjirwan, joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Purwanto, Setyo. 2004. Tafakur Sebagai Sarana Transendensi. (materi kuliah PI) tidak diterbitkan

Misiak, Henryk and Virginia Staudt Sexton, Ph.D. 1988 .Psikologi Fenomenologi Eksistensial dan Humanistik : Suatu Survai Historis. Bandung : PT Eresco

Purwanto, Setyo.2004. Hank Out PI : Metode-metode Perumusan Psikologi islami.(Materi Kuliah) tidak diterbitkan

http://jebhy.blogspot.com/2008/11/psikologi-lintas-budaya.html

No comments:

Post a Comment

Pengujung yang baik, pasti tidak lupa berkomentar. :)
Terimakasih.....