1. Psikoanalisis
Salah satunya tokoh psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939). Psikoanalisis
bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu
kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria
yang sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh
Jean-Martin Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor
psikis yang menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada
kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer
menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang menjadi subjek
penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud melihat
ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada
yang terbelah dari kepribadian Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu
yang membawa Freud pada kesimpulan struktur psikis manusia: id, ego,
superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud
menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada
manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk
penyaluran dorongan yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang
sering merepresi keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan
pada keadaan sadar, maka keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat
tidur, ketika kontrol ego lemah.
Dalam
pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot)
maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa
mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak
kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Di alam tidak sadar inilah tinggal dua struktur mental yang ibarat gunung es dari kepribadian kita, yaitu:
a. Id, adalah berisi energi psikis, yang hanya memikirkan kesenangan semata.
b. Superego, adalah berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya.
c. Ego, adalah pengawas realitas.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kira dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking.
Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat
memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat
dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking.
Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk
memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu
kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).
2. Behaviourisme
Aliran
ini sering dikatkan sebagai aliran ilmu jiwa namun tidak peduli pada
jiwa. Pada akhir abad ke-19, Ivan Petrovic Pavlov memulai eksperimen
psikologi yang mencapai puncaknya pada tahun 1940 – 1950-an. Di sini
psikologi didefinisikan sebagai sains dan sementara sains hanya
berhubungan dengan sesuatu yang dapat dilihat dan diamati saja.
Sedangkan ‘jiwa’ tidak bisa diamati, maka tidak digolongkan ke dalam
psikologi.
Aliran ini memandang manusia sebagai mesin (homo mechanicus) yang dapat dikendalikan perilakunya melalui suatu pelaziman (conditioning). Sikap yang diinginkan dilatih terus-menerus sehingga menimbulkan maladaptive behaviour atau
perilaku menyimpang. Salah satu contoh adalah ketika Pavlov melakukan
eksperimen terhadap seekor anjing. Di depan anjing eksperimennya yang
lapar, Pavlov menyalakan lampu. Anjing tersebut tidak mengeluarkan air
liurnya. Kemudian sepotong daging ditaruh dihadapannya dan anjing
tersebut terbit air liurnya. Selanjutnya begitu terus setiap kali lampu
dinyalakan maka daging disajikan. Begitu hingga beberapa kali percobaan,
sehingga setiap kali lampu dinyalakan maka anjing tersebut terbit air
liurnya meski daging tidak disajikan. Dalam hal ini air liur anjing
menjadi conditioned response dan cahaya lampu menjadi conditioned stimulus.
Percobaan
yang hampir sama dilakukan terhadap seorang anak berumur 11 bulan
dengan seekor tikus putih. Setiap kali si anak akan memegang tikus putih
maka dipukullah sebatang besi dengan sangat keras sehingga membuat si
anak kaget. Begitu percobaan ini diulang terus menerus sehingga pada
taraf tertentu maka si anak akan menangis begitu hanya melihat tikus
putih tersebut. Bahkan setelah itu dia menjadi takut dengan segala
sesuatu yang berbulu: kelinci, anjing, baju berbulu dan topeng
Sinterklas.
Ini yang dinamakan pelaziman dan untuk mengobatinya kita bisa melakukan apa yang disebut sebagai kontrapelaziman (counterconditioning).
3. Psikologi Humanistis
Aliran
ini muncul akibat reaksi atas aliran behaviourisme dan psikoanalisis.
Kedua aliran ini dianggap merendahkan manusia menjadi sekelas mesin atau
makhluk yang rendah. Aliran ini biasa disebut mazhab ketiga setelah Psikoanalisa dan Behaviorisme.
Salah
satu tokoh dari aliran ini – Abraham Maslow – mengkritik Freud dengan
mengatakan bahwa Freud hanya meneliti mengapa setengah jiwa itu sakit,
bukannya meneliti mengapa setengah jiwa yang lainnya bisa tetap sehat.
Salah
satu bagian dari humanistic adalah logoterapi. Adalah Viktor Frankl
yang mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut sebagai logotherapy (logos = makna). Pandangan ini berprinsip:
a. Hidup memiliki makna, bahkan dalam situasi yang paling menyedihkan sekalipun.
b. Tujuan hidup kita yang utama adalah mencari makna dari kehidupan kita itu sendiri.
c.
Kita memiliki kebebasan untuk memaknai apa yang kita lakukan dan apa
yang kita alami bahkan dalam menghadapi kesengsaraan sekalipun.
Frankl
mengembangkan teknik ini berdasarkan pengalamannya lolos dari kamp
konsentrasi Nazi pada masa Perang Dunia II, di mana dia mengalami dan
menyaksikan penyiksaan-penyiksaan di kamp tersebut. Dia menyaksikan dua
hal yang berbeda, yaitu para tahanan yang putus asa dan para tahanan
yang memiliki kesabaran luar biasa serta daya hidup yang perkasa. Frankl
menyebut hal ini sebagai kebebasan seseorang memberi makna pada
hidupnya.
Logoterapi ini sangat erat kaitannya dengan SQ, yang bisa kita kelompokkan berdasarkan situasi-situasi berikut ini:
a. Ketika seseorang menemukan dirinya (self-discovery).
Sa’di (seorang penyair besar dari Iran) menggerutu karena kehilangan
sepasang sepatunya di sebuah masjid di Damaskus. Namun di tengah
kejengkelannya itu ia melihat bahwa ada seorang penceramah yang
berbicara dengan senyum gembira. Kemudian tampaklah olehnya bahwa
penceramah tersebut tidak memiliki sepasang kaki. Maka tiba-tiba ia
disadarkan, bahwa mengapa ia sedih kehilangan sepatunya sementara ada
orang yang masih bisa tersenyum walau kehilangan kedua kakinya.
b. Makna muncul ketika seseorang menentukan pilihan.
Hidup menjadi tanpa makna ketika seseorang tak dapat memilih. Sebagai
contoh: seseorang yang mendapatkan tawaran kerja bagus, dengan gaji
besar dan kedudukan tinggi, namun ia harus pindah dari Yogyakarta menuju
Singapura. Di satu sisi ia mendapatkan kelimpahan materi namun di sisi
lainnya ia kehilangan waktu untuk berkumpul dengan anak-anak dan
istrinya. Dia menginginkan pekerjaan itu namun sekaligus punya waktu
untuk keluarganya. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mundur dari
pekerjaan itu dan memilih memiliki waktu luang bersama keluarganya. Pada
saat itulah ia merasakan kembali makna hidupnya.
c. Ketika seseorang merasa istimewa, unik dan tak tergantikan.
Misalnya: seorang rakyat jelata tiba-tiba dikunjungi oleh presiden
langsung di rumahnya. Ia merasakan suatu makna yang luar biasa dalam
kehidupannya dan tak akan tergantikan oleh apapun. Demikian juga ketika
kita menemukan seseorang yang mampu mendengarkan kita dengan penuh
perhatian, dengan begitu hidup kita menjadi bermakna.
d.
Ketika kita dihadapkan pada sikap bertanggung jawab. Seperti contoh di
atas, seorang bendahara yang diserahi pengelolaan uang tunai dalam
jumlah sangat besar dan berhasil menolak keinginannya sendiri untuk
memakai sebagian uang itu untuk memuaskan keinginannya semata. Pada saat
itu si bendahara mengalami makna yang luar biasa dalam hidupnya.
e.
Ketika kita mengalami situasi transendensi (pengalaman yang membawa
kita ke luar dunia fisik, ke luar suka dan duka kita, ke luar dari diri
kita sekarang). Transendensi adalah pengalaman spiritual yang memberi
makna pada kehidupan kita.
4. Psikologi Gestalt
Psikologi Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berarti menggambarkan konfigurasi atau bentuk yang utuh. Suatu gestalt
dapat berupa objek yang berbeda dari jumlah bagian-bagiannya. Semua
penjelasan tentang bagian-bagian objek akan mengakibatkan hilangnya gestalt
itu sendiri. Sebagai contoh, ketika melihat sebuah persegi panjang maka
hal ini dapat dipahami dan dijelaskan sebagai persegi panjang
berdasarkan keutuhannya atau keseluruhannya dan identitas ini tidak bisa
dijelaskan sebagai empat garis yang saling tegak lurus dan berhubungan.
Sejalan dengan itu, gestalt
menunjukkan premis dasar sistem psikologi yang mengonseptualisasi
berbagai peristiwa psikologis sebagai fenomena yang terorganisasi, utuh
dan logis. Pandangan ini menjelaskan integritas psikologis aktivitas
manusia yang jelas. Menurut para gestaltis, pada waktu itu
psikologi menjadi kehilangan identitas jika dianalisis menjadi
komponen-komponen atau bagian-bagian yang telah ada sebelumnya.
Psikologi gestalt adalah
gerakan jerman yang secara langsung menantang psikologi strukturalisme
Wundt. Para gestaltis mewarisi tradisi psikologi aksi dari Brentano,
Stumpf dan akademi Wurzburg di jerman, yang berupaya mengembangkan
alternatif bagi model psikologi yang diajukan oleh model ilmu
pengetahuan alam reduksionistik dan analitik dari Wundt.
Gerakan
gestalt lebih konsisten dengan tema utama dalam filsafat jerman yakni
aktivitas mental dari pada sistem Wundt. Psikologi gestalt didasari oleh
pemikiran Kant tentang teori nativistik yang mengatakan bahwa
organisasi aktivitas mental membuat individu berinteraksi dengan
lingkungannya melalui cara-cara yang khas. Sehingga tujuan psikologi
gestalt adalah menyelidiki organisasi aktivitas mental dan mengetahui
secara tepat karakteristik interaksi manusia-lingkungan.
Hingga
pada tahun 1930, gerakan gestalt telah berhasil menggantikan model
wunditian dalam psikologi Jerman. Namun, keberhasilan gerakan tersebut
tidak berlangsung lama kerena munculnya hitlerisme. Sehingga para
pemimpin gerakan tersebut hijrah ke Amerika.
Psikologi gestalt diawali dan dikembangakan melalui tulisan-tulisan tiga tokoh penting, yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka.
Ketiganya dididik dalam atmosfer intelektual yang menggairahkan pada
awal abad 20 di Jerman, dan ketiganya melarikan diri dari kejaran nazi
dan bermigrasi ke Amerika.
Tetapi
di Amerika psikologi gestalt tidak memperoleh dominasi seperti di
Jerman. Hal ini dikarenakan psikologi Amerika telah berkembang melalui
periode fungsionalisme dan pada tahun 1930-an didominasi oleh
behaviorisme. Oleh karena itu, kerangka psikologi gestalt tidak sejalan
dengan perkembangan-perkembangan di Amerika.
5. Psikologi Transpersonal
Kata
transpersonal berasal dari kata trans yang berarti melampaui dan
persona berarti topeng. Secara etimologis, transpersonal berarti
melampaui gambaran manusia yang kelihatan. Dengan kata lain,
transpersonal berarti melampaui macam-macam topeng yang digunakan
manusia.
Menurut
John Davis, psikologi transpersonal bisa diartikan sebagai ilmu yang
menghubungkan psikologi dengan spiritualitas. Psikologi transpersonal
merupakan salah satu bidang psikologi yang mengintegrasikan konsep,
teori dan metode psikologi dengan kekayaan-kekayaan spiritual dari
bermacam-macam budaya dan agama. Konsep inti dari psikologi
transpersonal adalah nondualitas (nonduality), suatu pengetahuan bahwa
tiap-tiap bagian (misal: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari
keseluruhan alam semesta. Penyatuan kosmis dimana segala-galanya
dipandang sebagai satu kesatuan.
Perintisan
psikologi transpersonal diawali dengan penelitian-penelitian tentang
psikologi kesehatan pada tahun 1960-an yang dilakukan oleh Abraham Maslow (Kaszaniak,2002). Perkembangan psikologi transpersonal lebih pesat lagi setelah terbitnya Journal of Transpersonal Psychology pada
tahun 1969 dimasa disiplin ilmu psikologi mulai mengarahkan perhatian
pada dimensi spiritual manusia. Penelitian mengenai gejala-gejala
ruhaniah seperti peak experience, pengalaman mistis, exctasy, keadaran
ruhaniah, pengalaman transpersonal, aktualisasi dan pengalaman
transpersonal mulai dikembangkan. Aliran psikologi yang memfokuskan diri
pada kajian-kajian transpersonal menamakan dirinya aliran psikologi
transpersonal dan memproklamirkan diri sebagai aliran ke empat setelah
psikoanalisis, behaviourisme dan humanistic. Psikologi transpersonal
memfokuskan diri pada bentuk-bentuk kesadaran manusia, khususnya taraf
kesadaran ASCs (Altered States of Consciosness). Sejak 1969, ketika
Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertamakalinya,
psikology mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia.
Penelitian yang dilakukan untuk memahami gejala-gejala ruhaniah seperti
peak experience, pengalaman mistis, ekstasi, kesadaran kosmis,
aktualisasi transpersonal pengalaman spiritual dan kecerdasan spiritual
(Zohar,2000).
Aliran
psikologi Transpersonal ini dikembangkan oleh tokoh psikologi
humanistic antara lain : Abraham Maslow, Antony Sutich, dan Charles
Tart. Sehingga boleh dikatakan bahwa aliran ini merupakan perkembangan
dari aliran humanistic. Sebuah definisi kekemukakan oleh Shapiro yang
merupakan gabungan dari pendapat tentang psikologi transpersonal :
psikologi transpersonal mengkaji tentang poitensi tertinggi yang
dimiliki manusia, dan melakukan penggalian, pemahaman, perwujudan dari
kesatuan, spiritualitas, serta kesadaran transendensi.
Menurut
Maslow pengalaman keagamaan meliputi peak experience, plateu, dan
farthes reaches of human nature. Oleh karena itu psikologi belum
sempurna sebelum memfokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan
transpersonal. Maslow menulis (dalam Zohar, 2000). "I should say also
that I consider Humanistic, Third Force psychology, to be trantitional, a
preparation for still higher Fourth Psychology, a transpersonal,
transhuman centered in the cosmos rather than in human needs and
interest, going beyond humanness, identity, self actualization, and the
like".
Psikologi
transpersonal lebih menitikberatkan pada aspek-aspek spiritual atau
transcendental diri manusia. Hal inilah yang membedakan konsep manusia
antara psikologi humanistic dengan psikologi transpersonal. McWaters
(dalam Nusjirwan, 2001) membuat sebuah diagram yang berbentuk lingkaran
dimana setiap lingkaran mewakili satu tingkat berfungsinya menusia dan
tingkat kesadaran diri manusia.
Tiap
tingkat dari bagian diatas menunjukan tingkat fungsi dan tingkat
kesadaran manusia. Lingkaran 1,2 dan 3 yang berturut-turut mewakili
aspek fisikal, aspek emosional dan aspek intelektual dari kekuatan batin
individu. Lingkaran 4 menggambarkan pengintegrasian dari lingkaran 1, 2
dan 3 yang memungkinkan individu berfungsi secara harminis pada tingkat
pribadi. Keempat lingkaran ini termasuk dalam kawasan personal manusia.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini mulai samara-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indra (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransedir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, dimana diri seseorang mentransendir dualintas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Tingkatan berikutnya termasuk dalam kategori wilayah transpersonal manusia. Lingkaran 5 mewakili aspek intuisi. Pada aspek ini mulai samara-samar menyadari bahwa ia bisa mempersepsi tanpa perantara panca indra (extra sensory perception). Lingkaran 6 mewakili aspek energi psikis (kekuatan bathiniah) di mana individu secara jelas menghayati dirinya sebagai telah mentransedir/melewati kesadaran sensoris dan pada saat yang sama menyadari pengintegrasian dirinya dengan medan-medan energi yang lebih besar. Fenomena-fenomena para psikologi dapat dialami pada tingkat kesadaran ini. Lingkaran 7 mewakili bentuk penghayatan paling tinggi-penyatuan mistis atau pencerahan, dimana diri seseorang mentransendir dualintas dan menyatu dengan segala yang ada. Melewati ke tujuh tingkat yang disebutkan itu, dikatakan lagi tingkat pengembangan potensial dimana semua tingkat dihayati secara simultan.
Konsep
dari McWater ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang mencapai
kualitas diri melalui metode tafakur. Ketika seseorang berada pada fase
pertama dalam bertafakur berarti dia berada pada dunia fisik yaitu
pengetahuan yang didapat dari fungsi indera. Sebuah kejadian akan
dipresepsi secara empiris yang langsung melalui pendengaran, penglihatan
atau alat indera lainnya, atau secara tidak langsung seperti pada
fenomena imajinasi, pengetahuan rasional yang abstrak, yang sebagaian
pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi. Jika seseorang
memperdalam cara melihat dan mengamati sisi-sisi keindahan, kekuatan,
dan keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah
berpindah dari pengetahuan yang indrawi menuju rasa kekaguman (
tadlawuk) dimana pada tahap ini adalah tahap bergejolaknya perasaan,
disini kita melihat bahwa tahap ini sesuai dengan tahap kedua dari
McWater yaitu emosional. Pada tahap selanjutnya, dengan bertafakur
aktiitas kognitif seseorang muali delibtkan, disinilah tafakur sangat
berperan dalam proses pengintegrasian ketiga komponen tadi yaitu fisik,
dmosi dan intelektual.
Kemudian
jika hasil pengintegrasian seseorang ini ditransendensikan kepada Allah
maka kualitas seseorang tadi akan meningkat dari personal menuju
transpersonal. Badri (1989) mencontohkan seseorang yang sudah pada tahap
transpersonal ini "perasaan kagum manusia terhadap keindahan dan
keagungan penciptaan serta perasaan kecil dan hina di tengah malam, yang
ia saksikan merupakan fitrah yang sudah diberikan Allah kepada manusia
untuk dapat melihat semua yang ada di langit dan di bumi sehingga ia
dapat menemukan sang pencipta, merasakan khusuk terhada-Nya, dan dapat
menyembah-Nya. Baik karena takut atau karena cinta". Dari ungkapan
tersebut dapat dita lihat bahwa seseorang yang mengakui bahwa keindahan
itu adalah ciptaan Allah maka berarti dia sudah memasuki dunia
transpersonal.
6. Psikologi Positif
Psikologi
yang berkembang dewasa ini dapat disebut sebagai psikologi negatif,
karena berkutat pada sisi-negatif manusia. Psikologi, karena itu, paling
banter hanya menawarkan terapi atas masalah-masalah kejiwaan. Padahal,
manusia tidak hanya ingin terbebas dari problem, tetapi juga mendambakan
kebahagiaan. Adakah psikologi jenis lain yang menjawab harapan ini?
Martin Seligman,
seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam
bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Berlawanan dengan
psikologi negatif, sains baru ini mengarahkan perhatiannya pada
sisi-positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan
kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan
berkelanjutan.
Dalam
buku revolusioner yang ditulis dengan gaya populer ini, Seligman
memperkenalkan prinsip-prinsip dasar Psikologi Positif, ciri-ciri
kebahagiaan yang autentik, dan faktor-faktor pendukungnya. Dengan
metode-metode praktis yang dirumuskannya, Anda dapat memanfatkan
temuan-temuan terbaru dari sains kebahagiaan untuk mengukur dan
mengembangkan kebahagiaan dalam hidup Anda.
Psikologi positif adalah cabang baru psikologi yang bertujuan diringkas pada tahun 2000 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi
"Kami percaya bahwa psikologi positif akan muncul fungsi manusia yang
mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk membangun berkembang dalam
individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif mencari" untuk
mencari dan membina jenius dan bakat ", dan" untuk membuat kehidupan
normal lebih memuaskan ", tidak hanya untuk mengobati penyakit mental.
Pendekatan ini telah menciptakan banyak menarik di sekitar subjek, dan
pada tahun 2006 studi di Universitas Harvard yang berjudul "Psikologi
Positif" menjadi kursus semester yang paling populer semester.
Beberapa
Psikolog Humanistik, seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, dan Erick
Fromm mengembangnak teori dan praktek yang melibatkan kebahagiaan
manusia. Baru-baru ini teori yang dikembangkan oleh para psikolog
humanistik ini telah menemukan dukungan empiris dari studi oleh para
psikolog positif, meskipun penelitian ini telah banyak dikritik. Teori
ini lebih berfokus pada kepuasan dengan sumber filosofismenya keagamaan
dan psikologi humanistic.
Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa dan perilaku manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dan selama ini yang kita ketahui, bidang
psikologi selalu menghadapi hal-hal yang berhubungan dengan jiwa
seseorang, misalnya penyebab orang mengalami gangguan jiwa, mengapa
orang bisa mengalami stress, dan lain-lain. Yang selalu berhubungan
dengan sisi negatif seseorang.
Tetapi
selami ini kita mengenal yang nama nya psikologi positif, yaitu lebih
menekankan apa yang benar/baik pada seseorang, dibandingkan apa yang
salah/buruk. Sebelumnya, psikologi biasanya selalu menekankan apa yang
salah pada manusia, seperti soalan stress, depresi, kegelisahan dan lain
lain.
Itulah sebabnya, ada aliran baru dalam dunia psikologi, dan menyebutnya sebagai psikologi positif. Menurut Seligman, “Psikologi bukan hanya studi tentang kelemahan dan kerusakan; psikologi juga adalah studi tentang kekuatan dan kebajikan. Pengobatan bukan hanya memperbaiki yang rusak; pengobatan juga berarti mengembangkan apa yang terbaik yang ada dalam diri kita.”
Misi Seligman ialah mengubah paradigma psikologi, dari psikologi
patogenis yang hanya berkutat pada kekurangan manusia ke psikologi
positif, yang berfokus pada kelebihan manusia.
Berfokus
terhadap penanganan berbagai masalah bukanlah hal baru dalam dunia
psikologi. Sejak dulu, manusia selalu dipandang sebagai makhluk yang
bermasalah. Sejak awal mula munculnya aliran psikologi (mashab
behaviorisme), manusia dipandang sebagai suatu mekanik yang penuh dengan
banyak masalah. Mashab ini kemudian melihat masalah yang ada pada
manusia, belum lagi dengan mashab psikoanalisis yang melihat kenangan
masa lalu sebagai penyebab penderitaan yang ada saat ini. Apapun itu,
psikologi yang berkembang selama bertahun-tahun lamanya lebih
memedulikan kekurangan ketimbang kelebihan yang ada pada manusia. Itulah
sebabnya psikologi yang berkutat pada masalah sering disebut sebagai
psikologi negatif.
Psikologi
positif berhubungan dengan penggalian emosi positif, seperti bahagia,
kebaikan, humor, cinta, optimis, baik hati, dan sebagainya. Sebelumnya,
psikologi lebih banyak membahas hal-hal patologis dan gangguan-gangguan
jiwa juga emosi negatif, seperti marah, benci, jijik, cemburu dan
sebagainya. Dalam Richard S. Lazarus, disebutkan bahwa emosi positif
biasanya diabaikan atau tidak ditekankan, hal ini tidak jelas kenapa
demikian. Kemungkinan besar hal ini karena emosi negatif jauh lebih
tampak dan memiliki pengaruh yang kuat pada adaptasi dan rasa nyaman
yang subyektif dibanding melakukan emosi positif. Contohnya, pada saat
kita marah, maka ada rasa nyaman yang terlampiaskan, rasa superior, dan
sebagainya. Ada suatu penelitian mengatakan bahwa marah adalah emosi
yang dipelajari, sehingga dia akan cenderung untuk mengulangi hal yang
dirasa nyaman.
Psikologi
positif tidak bermaksud mengganti atau menghilangkan penderitaan,
kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau
memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman
manusia.
Jadi
intinya saat ini kita sudah mengenal yang nama nya psikologi positif,
ada baiknya kita merubah diri kita sedikit demi sedikit. Sebisa mungkin
kita lebih mengeluarkan emosi positif kita dibandingkan emosi negatif
kita. Maka hasilnya pun akan positif.
7. Psikologi Lintas Budaya (Cross Culture Psychology)
Kata
budaya sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering
budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa atau etnis. Kata budaya
juga kadang dikaitkan dengan seni, musik, tradisi-ritual, atau
peninggalan-peninggalan masa lalu. Sebagai sebuah entitas teoritis dan
konseptual, budaya membantu memahami bagaimana kita berperilaku tertentu
dan menjelaskan perbedaan sekelompok orang. Sebagai sebuah konsep
abstrak, lebih dari sekedar label, budaya memiliki kehidupan sendiri, ia
terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuan-pertemuan dengan budaya
lain, perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Budaya adalah
produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam
sebuah kelompok. Budaya menjadi pengikat dan diinternalisasi
individu-individu yang menjadi anggota suatu kelompok, baik disadari
maupun tidak disadari. Pada awal perkembangannya, ilmu psikologi tidak
menaruh perhatian terhadap budaya. Baru sesudah tahun 50-an budaya
memperoleh perhatian. Namun baru pada tahun 70-an ke atas budaya
benar-benar memperoleh perhatian. Pada saat ini diyakini bahwa budaya
memainkan peranan penting dalam aspek psikologis manusia. Oleh karena
itu pengembangan ilmu psikologi yang mengabaikan faktor budaya
dipertanyakan kebermaknaannya. Triandis (2002) misalnya, menegaskan
bahwa psikologi sosial hanya dapat bermakna apabila dilakukan lintas
budaya. Hal tersebut juga berlaku bagi cabang-cabang ilmu psikologi
lainnya.
Sebenarnya
bagaimana hubungan antara psikologi dan budaya? Secara sederhana
Triandis (1994) membuat kerangka sederhana bagaimana hubungan antara
budaya dan perilaku sosial, Ekologi - budaya - sosialisasi - kepribadian
– perilaku. Sementara itu Berry, Segall, Dasen, & Poortinga (1999)
mengembangkan sebuah kerangka untuk memahami bagaimana sebuah perilaku
dan keadaan psikologis terbentuk dalam keadaan yang berbeda-beda antar
budaya. Kondisi ekologi yang terdiri dari lingkungan fisik, kondisi
geografis, iklim, serta flora dan fauna, bersama-sama dengan kondisi
lingkungan sosial-politik dan adaptasi biologis dan adaptasi kultural
merupakan dasar bagi terbentuknya perilaku dan karakter psikologis.
Ketiga hal tersebut kemudian akan melahirkan pengaruh ekologi, genetika,
transmisi budaya dan pembelajaran budaya, yang bersama-sama akan
melahirkan suatu perilaku dan karakter psikologis tertentu.
Pada
umumnya penelitian psikologi lintas budaya dilakukan lintas negara atau
lintas etnis. Artinya sebuah negara atau sebuah etnis diperlakukan
sebagai satu kelompok budaya. Dari sisi praktis, hal itu sangat berguna.
Meskipun hal tersebut juga menimbulkan persoalan, apakah sebuah negara
bisa diperlakukan sebagai satu kelompok budaya bila didalamnya ada
ratusan etnik seperti halnya indonesia? Dalam posisi seperti itu,
penggunaan bahasa nasional yakni bahasa indonesia menjadi dasar untuk
menggolongkan seluruh orang indonesia ke dalam satu kelompok budaya.
Pada akhirnya tidak ada kategori kaku yang bisa digunakan untuk
melakukan pengelompokan budaya. Apakah batas-batas budaya itu ditandai
dengan ras, etnis, bahasa, atau wilayah geografis, semuanya bisa tumpang
tindih satu sama lain atau malah kurang relevan.
Sebuah
definisi mengenai budaya dalam konteks psikologi lintas budaya
diperlukan guna pemahaman yang sama mengenai apa yang dimaksud budaya
dalam psikologi lintas budaya. Culture as the set of attitudes, values,
belifs, and behaviors shared by a group of people, but different for
each individual, communicated from one generation to the next
(Matsumoto, 1996). Definisi Matsumoto dapat diterima karena definisi ini
memenuhi semua perdebatan sebelumnya; budaya sebagai gagasan, baik yang
muncul sebagai perilaku maupun ide seperti nilai dan keyakinan,
sekaligus sebagai material, budaya sebagai produk (masif) maupun sesuatu
(things) yang hidup (aktif dan menjadi panduan bagi individu anggota
kelompok. Selain itu, definisi tersebut menggambarkan bahwa budaya
adalah suatu konstruk sosial sekaligus konstruk individu.
Psikologi
lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh perhatian
pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan dengan
mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Dalam arti
sempit, penelitian lintas budaya secara sederhana hanya berarti
dilibatkannya partisipasian dari latar belakang kultural yang berbeda
dan pengujian terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya perbedaan antara
para partisipan tersebut.
Dalam
arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas apakah
kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku
bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific,
berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
(Matsumoto, 2004).
Menurut
Seggal, Dasen, dan Poortinga (1990) psikologi lintas budaya adalah
kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus
memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk, dan dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Pengertian ini mengarahkan
perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman perilaku manusia di dunia,
dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks budaya, tempat
perilaku terjadi. Terdapat beberapa definisi lain (menekankan beberapa
kompleksitas), antara lain:
a.
Menurut Triandis, Malpass, dan Davidson (1972) psikologi lintas budaya
mencakup kajian suatu pokok persoalan yang bersumber dari dua budaya
atau lebih, dengan menggunakan metode pengukuran yang ekuivalen, untuk
menentukan batas-batas yang dapat menjadi pijakan teori psikologi umum
dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal.
b.
Menurut Brislin, Lonner, dan Thorndike, 1973) menyatakan bahwa
psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai
kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat
membawa ke arah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.
c.
Triandis (1980) mengungkapkan bahwa psikologi lintas budaya berkutat
dengan kajian sistematik mengenai perilaku dan pengalaman sebagaimana
pengalaman itu terjadi dalam budaya yang berbeda, yang dipengaruhi
budaya atau mengakibatkan perubahan-perubahan dalam budaya yang
bersangkutan.
Setiap
definisi dari masing-masing ahli di atas, menitikberatkan ciri
tertentu, seperti misalnya pertama, gagasan kunci yang ditonjolkan ialah
cara mengenali hubungan sebab-akibat antara budaya dan perilaku. Kedua,
berpusat pada peluang rampat (generalizabiliti) dari pengetahuan
psikologi yang dianut. Ketiga lebih menitikberatkan pengenalan berbagai
jenis pengalaman budaya. Kempat, mengedepankan persoalan perubahan
budaya dan hubungannya dengan perilaku individual. Berdasarkan beberapa
pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
psikologi lintas budaya adalah psikologi yang memperhatikan
faktor-faktor budaya, dalam teori, metode dan aplikasinya.
Sumber:
Jalaluddin Rakhmat dalam Danah Zohar, SQ – Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Hidup, Mizan, Jakarta, 2000.
Noesjirwan,
joesoef. 2000. Konsep Manusia Menurut Psikologi Transpersonal (dalam
Metodologi Psikologi Islami). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Purwanto, Setyo. 2004. Tafakur Sebagai Sarana Transendensi. (materi kuliah PI) tidak diterbitkan
Misiak,
Henryk and Virginia Staudt Sexton, Ph.D. 1988 .Psikologi Fenomenologi
Eksistensial dan Humanistik : Suatu Survai Historis. Bandung : PT Eresco
Purwanto, Setyo.2004. Hank Out PI : Metode-metode Perumusan Psikologi islami.(Materi Kuliah) tidak diterbitkan
No comments:
Post a Comment
Pengujung yang baik, pasti tidak lupa berkomentar. :)
Terimakasih.....