-->
Stereotype adalah citra mental yang
melekat pada sebuah grup/atau kelompok. Didunia
yang kompleks dan ambigu, kita sering mencari cara menghadapi dan menyederhanakan kenyataan hidup
sehari-hari. Kebanyakan pengetahuan yang kita ketahui berdasarkan pengalaman, dan kita cenderung untuk membagi
informasi orang kedua dan menerapkannya dalam menggambarkan paham tentang
sebuah kelompok dalam masyarakat.
Ketika ini
terjadi, kita berpartisipasi dalam proses stereotyping. Stereotype dapat
menuntun kepada ketidakadilan sosial bagi mereka yang merupakan korban tidak
bersalah. Dan timbulah masalah serius soal etika. Kadangkala stereotype
berkembang diluar keadilan sosial. Sehingga perlu dipisah dalam beberapa bab.
Ada
kecenderungan menghubungkan stereotype dengan isu rasis dan gender, dan praduga
etnis. Tidak diragukan lagi hal ini yang menjadi isu kontroversial tentang
stereotype. Pemberian julukan menyebar ke semua sampai ke masalah interaksi
sosial.
Ambil contoh
orang-orang yang kelebihan berat badan. Mereka digambarkan sebagai orang lambat
dan teledor. Jurnalis kadang menggambarkannya sebagai tak berharga, mencari
barang bekas demi mencari berita.
Bahkan
Aristotle, malaikat pelindung “kebaikan pernah salah mengenai stereotyping.
Pada masa perbudakan abad keempat” ia membenarkan pemisahan perlakuan seorang
budak dibanding manusia bebas, karena ia beranggapan sudah menjadi hukum alam
memanfaatkan tubuh budak sebagai pekerja rendahan. Ia membentuk stereotype
untuk membenarkan pemisahan ini.
Konsep
stereotyping modern pertama kali diperkenalkan dalam kehidupan sosial oleh
penulis dan kolumnis Walter Lipmann. Dalam artikel public Opinion tahun 1922,
Lipmann membuat observasi tentang keharusan yang tidak dapat dielakkan
menjadikan stereotyping untuk mengatur lingkungan dan hubungan sosial.
Ada jarak
antar manusia untuk saling berinteraksi. Seperti antara pekerja dan majikan,
petugas dan pemilih. Tidak ada kesempatan untuk perkenalan intim. Meskipun
perlu dicatat jarak lah yang menyebabkan tipe dan membentuk pengertian
stereotyping di kepala kita.
Dengan kata
lain stereotypes merupakan cara untuk melihat dunia secara ekonomi. Karena
setiap individu tidak memiliki pengalaman personal terhadap setiap kejadian
yang bisa membuatnya tertarik. Kebanyakan dari kita lebih percaya dengan
testimony orang lain untuk memperkaya pengetahuan. Media massa tentunya jendela
paling penting untuk mewakili pengalaman dan fungsi sebagaimana mata dan
telinga kita sebagai bagian dari alam semesta yang tidak dapat secara langsung
kita amati.
Praktisi
media memiliki tanggung jawab moral untuk memahami perbedaan diantara
seterotype dan kenyataan.
Lippman
mencatat dengan sangat jelas bahwa “ pola stereotype tidak netral karena
stereotyping melibatkan persepsi perorangan terhadap kenyataan. ”persepsi ini
lebih didominasi oleh perasaan yang mengikat pada diri mereka sendiri, dengan
begitu ia menginstruksikan kita, stereotype adalah mekanisme pertahanan vital
dimana kita dapat merasa tetap aman dimana kita berada. Pandangan ini
menyarankan stereotyping sebagai proses natural. Ada aturan yang perlu
dimainkan untuk menjaga pikiran sehat dan membuang sifat semau maunya yang
tidak penting.
Meskipun
demikian dalam masyarakat egaliter, stereotype tidak adil. Penerapannya
menimbulkan rasa curiga diantara anggota kelompok. Mereka membentuk pola asumsi
umum daripada melihat kondisi aktual. Dengan demikian saat kita menilai orang
berdasarkan stereotype yang salah kita telah mengabaikan hak mereka untuk
menentukan nasib sendiri yang menjadi nilai dasar dalam kehidupan sosial.
Media
memiliki kebiasaaan melambangkan pria homoseksual sebagai flamboyan dan
kewanita-wanitaan. Perilaku tersebut mewakili sifat gay tapi tidak mewakili
sifat grup tersebut sepenuhnya. Karena image seperti itu seringkali menegakkan
benteng psikologis antara komunitas gay dan masyarakat luas. Pertanyaannya,
apakah mereka harus dihindari meski sebenarnya mereka merupakan penggambaran
akurat dari sebuah grup terlarang.
Media telah
menjadi alat untuk mengkritik pengekalan stereotype. Media dalam beberapa tahun
ini lebih sensitif terhadap pengaduan steretotyp, sehingga stereotype menerang
perlahan menghilang. Ironisnya, beberapa kritik ditujukan pada praktsisi media
yang menampilkan penggambaran nonstreotypikal. Sebagai contoh, kritikan pada film
spike Lee Do the right thing. Pemerhati film mengobservasi dalam lingkungan
tersebut tidak dipenuhi oleh pecandu dan pengendar narkoba. Kritikan ini
mengabaikan fakta bahwa jutaan orang kulit hitam di Amerika tidak hidup dalam
lingkungan gangster dan narkoba.
Meskipun
demikian, media profesional tetap harus berjuang melawan dilema moral saat
merespon obyek untuk menyatakan kebenaran atau penggambaran yang tidak
realistis. Dengan kata lain stereotyping dalam media tak dapat dielakan. Tapi
media harus berani mengungkapkan kebenaran atas ketidakadilan di masyarakat.
No comments:
Post a Comment
Pengujung yang baik, pasti tidak lupa berkomentar. :)
Terimakasih.....